Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama.
jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dll.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa.
Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.
Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.
Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa.
Penegakan hukum yang bertanggungjawab (akuntabel) dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, juga berkaitan dengan kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum memang tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, di samping itu anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah. Sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.
Pemerintahan negara harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum. Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat.
Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan
Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan.
Itu semua harus dilakukan melalui Penegakan Hukum Yang Baik dan tersedianya Sumber Daya Manusia dalam penegakan hukum yang diiringi adanya kesadaran seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk selalu patuh dengan hukum terutama dalam pesta demokrasi. Fakta yang ada adalah, bangsa ini miskin pendidikan, miskin partisipasi politik karena hak suaranya telah dibeli, miskin keamanan dan kebebasan dalam hidup rukun berdampingan dan miskin keadilan serta kepastian hukum dalam setiap penyelenggaraan Pemilu. Rakyat yang miskin bukanlah hal yang ideal untuk diajak berdemokrasi apalagi ditengah carut-marutnya penegakan hukum, maka dalam situasi seperti ini mustahil tujuan negara Indonesia dapat tercapai dengan baik, mustahil demokrasi dan pemilu berjalan mulus tanpa ada kecurangan. Bahkan pembangunan cenderung berdampak sebaliknya yaitu membuat rakyat semakin miskin, merusak system dan prilaku sosial dan merusak lingkungan hidup serta merajalelanya budaya korupsi yang semakin sulit dicegah. Bukankah fakta yang ada, dimana Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, namun rakyatnya miskin ditengah-tengah kekayaan. Ironis
Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah “kesetian” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum masyarakat” masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk prilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri. Banyak diantara anggota masyarakat sebenarnya sadar akan perlunya penghormatan terhadap hukum secara rational namun mereka cenderung tidak patuh terhadap hukum. Kebudayaan hukum yang berkembang dimasyarakat kita ternyata lebih banyak mencerminkan bentuk prilaku yang dapat diibaratkan mereka yang berkenderaan berlalu lintas di jalan raya, ketika lampu merah dan kebetulan tidak ada polisi yang jaga maka banyak diantara “mereka” nekat tetap jalan terus dengan tidak mengindahkan atau memperdulikan lampu merah yang sedang menyala.
Mereka sebenarnya sadar tentang perlunya peraturan berlalu-lintas di jalan raya dan lebih dari itu mereka juga sadar telah melanggar lampu merah, tapi masalahnya mereka tidak patuh terhadap peraturan itu. Bahwa kesadaran seseorang tentang hukum ternyata tidak serta merta membuat seseorang tersebut patuh pada hukum karena banyak indikator-indikator sosial lainnya yang mempengaruhinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar